HUKUM MEMAKAN KEPITING
1. FATWA MUI
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
(LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabiul Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M.,
setelah
MENIMBANG
- bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting masih dipertanyakan kehalalannya;
- bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan
fatwa tentang status hukum mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi
umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.
MENGINGAT
- Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan
thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya,
antara lain :
- “Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS.
al-Baqarah [2]: 168).
- “(yaitu) orang yang mengikutRasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi
mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka
dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang
baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk… “(QS. al-A’raf[7]:
157).
- Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”
Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan) yang
ditangkap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya
untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah
kepadamu, Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan
sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya”. Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah
kepadamu; dan syukurilah ni’mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja
menyembah. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik! dari apa yang
Allah telah berikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makan
(yang berasal) dari laut sebagai makanan yang baik, bagimu, dan bagi
orang-orang yang dalam perjalanan panjang,………. ‘(OS.al-Baqarah[2] :
172).
- Kemudian Nabi menceritakan seoranglaki-laki yang melakukan
perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, dan badannya berlumur debu.
Sambil menengadahkan kedua tangan ke langit iaberdoa, ‘Ya Tuhan, ya
Tuhan,.. (berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu,
pada umumnya dikabulkan oleh Allah swt). Sedangkan, makanan orang itu
haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dengan
yang haram. (Nabi memberikan (komentar),’Jika demikian halnya, bagaimana
mungkin ia akan dikabulkan doanya”… (HR. Muslim dari Abu Hurairah),
“Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di
antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar,
tidak jelas halas haramnya),kebanyakan manusia tidak mengetahui
hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat sungguh ia telah
menyelamatkan agama dan harga dirinya…” (HR.Muslim).
- Hadis Nabi : “Laut itu suci airnya dan halal bangkai (ikan)-nya” (HR. Khat-iisa11),
- ()atidah finhiyyah ? Pada dasarnya hukum tentang sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya
- Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUIPeriode 2001-2005
- Pedoman Penetapan Fatwa MUI
Memperhatikan :
- Pendapat Imam Al Ramli dalam Nihayah Al Muhtajila Ma’rifah
Alfadza-al-Minhaj, (t.t : Dar’al -Fikr,t.th) juz VIII, halaman 150
tentang pengertian “Binatang laut/air ,dan halaman 151- 152 tentang
binatang yang hidup dilaut dan didaratan
- Pendapat Syeikh Muhammad al-Kathib a;-Syarbainidalam Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Al-Minhaj, (t.t
ar Al-Fikr, T.th), juz IV Hal 297 tentang pengertian “binatanglaut/Air
“, pendapat Imam Abu Zakaria bin Syaraf al-Nawawi dalamMinhaj
Al-Thalibin, Juz IV, hal. 298 tentang binatang laut dan didaratan serta
alasan (‘illah) hukum keharamannya yang dikemukakan ole hal-Syarbaini :
- Pendapat Ibn al’Arabi dan ulama lain sebagaimana dikutip oleh Sayyid
Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr,1992), Juz lll,
halaman 249 tentang “binatang yang hidup di daratan dan laut”
- Pendapat Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (anggota Komisi Fatwa) dalam
makalah Kepiting : Halal atau Haram dan penjelasanyang disampaikannya
pada Rapat Komisi Fatwa MUI, serta pendapat peserta rapat pada hari Rab
29 Mei 2002 M. / 16 Rabi’ul Awwal 1421 H.
- Pendapat Dr. Sulistiono (Dosen Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan
IPB) dalam makalah Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scylllaspp) dan
penjelasannya tentang kepiting yang disampaikan pada RapatKornisi Fatwa
MUI pada hari Sabtu, 4 Rabi’ul Akhir 1423 H / 15 Juni 2002M. antara lain
sebagai berikut :
- Ada 4 (empat)jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas, yaitu :
- Scylla serrata,
- Scylla tranquebarrica,
- Scylla olivacea, dan
- Scylla pararnarnosain.
Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan “kepiting”.
1. Kepiting adalah jenis binatang air, dengan alasan:
- Bernafas dengan insang.
- Berhabitat di air.
- Tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air.
2. Kepiting termasuk keempat,jenis di atas(lili._angka 1) hanya ada yang :
- hidup di air tawar saja
- hidup di air taut saja, dan
- hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam : di laut dan di darat.
Rapat Komisi Fatwa MUI dalam rapat
tersebut, bahwa kepiting, adalah binatang air baik di air laut maupun di
air tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua alam :
dilaut dan di darat :
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG KEPITING
- Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan Manusia.
- Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika
dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaimana,
mestinya.
Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 4 Rabi’ul Akhir 1423 H. 15 Ju1i 2002 M
KOMISI FATWA MAKLIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
K.H. MA’RUF AMIN
Sekretaris,
DRS. HASANUDIN, S.Ag.
2. PENDAPAT MENURUT 4 MADZHAB
Kebanyakan orang beranggapan bahwa kepiting itu termasuk
yang diharamkan, karena dianggap sebagai hewan yang hidup di dua alam
(barma’i). Padahal tentang hukum hewan barma’i itu sendiri termasuk
masalah yang diperdebatkan (masalah khilafiyah), suatu masalah yang
tidak bisa dijatuhkan hukum yang qath’i (mutlak).
Sebelum
berbicara mengenai hukum barma’i, sebenarnya di kalangan ahli ilmu
(ulama dan ilmuwan) juga masih terdapat perbedaan pendapat, apakah
kepiting itu termasuk hewan yang hidup di dua alam (barma’i) ataukah
tidak. Karena ada penelitian dari sementara kalangan peneliti dan
menemukan bahwa kepiting yang sering dijual orang itu bukan termasuk
kelompok barma’i. Dan menurut mereka, meski ada hewan darat yang mampu
bertahan di dalam air, belum tentu dia termasuk barma’i. Dan sebaliknya,
bila ada hewan air yang mampu bertahan hidup di darat, belum tentu juga
dia bisa digolongkan sebagai barma’i. Lalu penelitian ini menyimpulkan
bahwa kepiting yang dijual sebagai makanan lezat itu bukanlah termasuk
kelompok barma’i (hidup di dua alam), sehingga oleh mereka kepiting ini
dianggap halal.
Sedangkan
masalah terkait hukum hewan yang hidup di dua alam atau disebut hewan
barma`i itu sendiri, merupakan masalah khilafiyah sehingga tidak bisa
dijatuhi hukum haram secara mutlak. Hewan barma’i seperti kodok,
kura-kura, ular, buaya, anjing laut dan sejenisnya, para pengikut ulama
madzhab yang empat berbeda pendapat menjadi tiga :
1. Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi`iyyah
Dua
madzhab ini berpendapat bahwa hewan ini (kepiting) tidak boleh dimakan.
Karena dianggap termasuk katagori khabaits (hewan yang kotor). Salah
satu dalil yang mereka gunakan adalah bahwa Rasulullah SAW mengharamkan
untuk membunuh kodok. Seandainya boleh dimakan, maka tidak akan dilarang
untuk membunuhnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad, Ishaq,
Al Hakim dari Abdurrahman bin Utsman at-Tamimi.
Dalam kitab
Bulughul Maram bab Makanan-makanan disebutkan hadits ini. ”Dari
Abdurrahman bin ’Utsman al-Quraisyiy-yi bahwasannya seorang thabib
bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kodok yang ia campurkan di dalam
satu obat, maka Rasulullah larang membunuhnya.” (Diriwayatkan oleh
Ahmad, disahkan oleh Hakim. Dikeluarkan pula oleh Abu Dawud dan Nasa’i)
Silahkan
periksa juga Al-Lubab Syarhil Kitab jilid 3 halaman 230, Takmilatul
Fathi jilid 8 halaman 62, Mughni Al-Muhtaj jilid 4 halaman 298 dan kitab
Al-Muhazzab jilid 1 halaman 250.
2. Al-Malikiyah
Mereka
berpendapat bahwa memakan kodok, serangga, kura-kura dan kepiting
hukumnya boleh selama tidak ada nash atau dalil yang secara jelas
mengharamkannya. Dan mengkategorikan hewan-hewan itu sebagai khabaits
(kotor) tidak bisa dengan standar masing-masing individu, karena pasti
akan bersifat subjektif. Ada orang yang tidak merasa bahwa hewan itu
menjijikkan (kotor) dan juga ada yang sebaliknya. Sehingga untuk
mengharamkannya tidak cukup dengan itu, tapi harus ada nash yang jelas.
Dan menurut Al-Malikiyah, tidak ada nash yang melarang secara tegas
memakan hewan-hewan itu.
Silahkan periksa kitab Bidayatul Mujtahid jilid 1 halaman 656 dan kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 172.
3. Al-Hanabilah
Sedangkan
para ulama dari kalangan Al-Hanabilah membedakan masalahnya. Bahwa
semua hewan yang laut yang bisa hidup di darat tidak halal dimakan
kecuali dengan jalan menyembelihnya terlebih dahulu, contohnya yakni
burung air, kura-kura dan anjing laut. Kecuali bila hewan itu tidak
punya darah seperti kepiting, maka tidak perlu menyembelih.
Kepiting
menurut Imam Ahmad bin Hanbal boleh dimakan karena sebagai binatang
laut yang bisa hidup di darat, kepiting tidak punya darah, sehingga
tidak butuh disembelih. Sedangkan bila hewan dua alam itu punya darah,
maka untuk memakannya wajib dengan cara menyembelihnya.
Silahkan periksa kitab Al-Mughni jilid 8 halaman 606 dan kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 6 halaman 202.
3. ANALISIS
Ibnu
Hajar berkata :
فعند الحنفية وهو قول
الشافعية يحرم ما عدا السمك واحتجوا عليه بهذا الحديث
Menurut
mazhab hanafi dan pendapat ulama madzhab Syafii selain ikan tetap di
haramkan .Mereka berpegangan kepada hadis ikan besar yang pernah di makan
sahabat sbb :
Jabir
ra berkata :
وَزَوَّدَنَا
جِرَابًا مِنْ تَمْرٍ لَمْ يَجِدْ لَنَا غَيْرَهُ فَكَانَ أَبُو عُبَيْدَةَ
يُعْطِينَا تَمْرَةً تَمْرَةً قَالَ فَقُلْتُ كَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُونَ بِهَا
قَالَ نَمَصُّهَا كَمَا يَمَصُّ الصَّبِيُّ ثُمَّ نَشْرَبُ عَلَيْهَا مِنَ
الْمَاءِ فَتَكْفِينَا يَوْمَنَا إِلَى اللَّيْلِ وَكُنَّا نَضْرِبُ بِعِصِيِّنَا
الْخَبَطَ ثُمَّ نَبُلُّهُ بِالْمَاءِ فَنَأْكُلُهُ قَالَ وَانْطَلَقْنَا عَلَى
سَاحِلِ الْبَحْرِ فَرُفِعَ لَنَا عَلَى سَاحِلِ الْبَحْرِ كَهَيْئَةِ الْكَثِيبِ الضَّخْمِ
فَأَتَيْنَاهُ فَإِذَا هِيَ دَابَّةٌ تُدْعَى الْعَنْبَرَ قَالَ قَالَ أَبُو
عُبَيْدَةَ مَيْتَةٌ ثُمَّ قَالَ لَا بَلْ نَحْنُ رُسُلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدِ اضْطُرِرْتُمْ فَكُلُوا
قَالَ فَأَقَمْنَا عَلَيْهِ شَهْرًا وَنَحْنُ ثَلَاثُ مِائَةٍ حَتَّى سَمِنَّا
قَالَ وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا نَغْتَرِفُ مِنْ وَقْبِ عَيْنِهِ بِالْقِلَالِ
الدُّهْنَ وَنَقْتَطِعُ مِنْهُ الْفِدَرَ كَالثَّوْرِ أَوْ كَقَدْرِ الثَّوْرِ
فَلَقَدْ أَخَذَ مِنَّا أَبُو عُبَيْدَةَ ثَلَاثَةَ عَشَرَ رَجُلًا فَأَقْعَدَهُمْ
فِي وَقْبِ عَيْنِهِ وَأَخَذَ ضِلَعًا مِنْ أَضْلَاعِهِ فَأَقَامَهَا ثُمَّ رَحَلَ
أَعْظَمَ بَعِيرٍ مَعَنَا فَمَرَّ مِنْ تَحْتِهَا وَتَزَوَّدْنَا مِنْ لَحْمِهِ
وَشَائِقَ فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ أَتَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ هُوَ رِزْقٌ
أَخْرَجَهُ اللَّهُ لَكُمْ فَهَلْ مَعَكُمْ مِنْ لَحْمِهِ شَيْءٌ فَتُطْعِمُونَا
قَالَ فَأَرْسَلْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْهُ فَأَكَلَهُ *
Rasulullah
SAW memberi bekal kurma sekantong kulit , tiada makanan
lainnya . Abu Ubaidah memberikan satu kurma – satu kurma .
Perawi
berkata : “ Bagaimana kamu bisa berbuat dengannya ?
Jabir
berkata : Kita menyesapnya seperti bayi menyesap , lalu
kita minum air . Kita sudah cukup dengannya sampai malam. Kita
memukul dedaunan yang jatuh dengan tongkat kita ,lalu kita basahi dengan
air lalu kita makan.
Kita
pergi ke pantai , lalu dipantai ada ikan anbar laksana
undukan pasir besar.
Abu
Ubaidah berkata : “Ikan itu sudah membangkai , Tapi
kita menjadi utusan Rasulullah SAW dalam keadaan
darurat di dalam sabilillah ,kita makan saja.
Kita
bertempat disitu satu bulan ,kita berjumlah tiga ratus orang hingga kita
gemuk. Kita menciduk minyak dari lobang matanya dengan bejana (
tempayan ) , Kita potong daging nya ,kita rebus lalu kita dinginkan sebesar
sapi .
Abu
Ubaidah mengambil tiga belas lelaki diantara kita ,lalu didudukkan di
lobang matanya ,lalu mengambil tulang rusuknya , didirikan , lalu
unta paling besar lewat dibawahnya . Kita bikin dendeng
daging untuk bekal kita .Ketika sampai di medinah , kita datang kepada
Rasulullah SAW ,lalu kita sebutkan hal itu kepadanya .
Beliau
bersabda : Ia adalah rizqi yang di keluarkan oleh Allah untukmu . Apakah
kamu punya dagingnya , dan kami makan padanya .lalu kita berikan kepada
Rasulullah SAW dan beliau memakannya . [2]
Imam
Muhibbud din Thobari , lahir 224 , wafat 310 berkata :
والثعبان والعقرب والسرطان
والسلحفاة للاستخباث والضرر اللاحق من السم
Ular
,kalajengking , kepiting kura kura adalah haram karena buruk
dan racunnya yang membahayakan .[3]
Bila
kepiting termasuk buruk , maka layak di haramkan karena ada ayat :
وَيُحِلُّ
لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk[4]
Pendapat diatas berlainan dengan pendapat imam Ahmad sebagai berikut :
قال أحمد
السرطان لا بأس به قيل له يذبح قال لا وذلك لأن مقصود الذبح إنما هو إخراج
الدم منه وتطييب اللحم بإزالته عنه فما لا دم فيه لا حاجة إلى ذبحه
Imam
Ahmad , wafat tahun 241 H. berkata :” Kepiting boleh ,lalu di katakan
kepadanya : “ Apakah di sembelih ? “.
Beliau
menjawab :”Tidak , karena maksud pemotongan adalah mengeluarkan darah dan
melezatkan daging . Selama kepiting tidak memiliki darah , tidak perlu
dipotong [5]
Namun yang perlu kita perhatikan bahwa Pernyataan tersebut diatas merupakan pendapat
pribadi Imam Ahmad dan beliau tidak mengetengahkan dalil dan Ia
bertentangan dengan pendapat ulama syafiiyah.
Ahmad
bin Ali bin Hajar Alasqalani , wafat 852 berkata :
حديث
أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع السرطان لم
أجده
Hadis
tentang larangan jual beli kepiting ,aku tidak menjumpainya “.[6]
Abdullah
bin Yusuf Abu Muhammad Al hanafi Azzaila`i , wafat 762 berkata :
الحديث الثالث والعشرون روي
أنه عليه السلام نهى عن بيع السرطان قلت غريب جدا
Hadis
ke 23 , diriwayatkan bahwa Nabi SAW melarang jual beli kepiting .
Aku berkata : “sangat nyeleneh “. [7]
Dari pendapat - pendapat diatas bisa disimpulkan bahwa masalah kepiting adalah hilafiyah , oleh sebab itu, jalan keluarnya ialah kita perlu
kembali kepada Allah sebagaimana ayat :
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.[8]
Keterangan
penghalalan kepiting secara tegas dalam al Quran tidak ada , tapi ada ayat yang
mengharamkan khobits (buruk) dan kepiting menurut Imam
Muhibbud din Thobari termasuk khobits tersebut, sehingga jelas hukumnya adalah haram.
Sementara dalam hadis juga tidak ada
yang memperkenankan memakan kepiting secara tegas dan lugas. Secara kenyataan para Rasulullah mulai Nabi Adam
sampai Nabi Muhammad , dan para sahabatnya tidak kami jumpai
keterangan hadis bahwa mereka pada suatu saat pernah makan kepiting .
Padahal kita diperintahkan untuk makan sebagaimana makanan para Rasulullah.
Dalam suatu hadis dijelaskan :
أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ
أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا
الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ) وَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ )
Wahai
manusia ! Sesungguhnya Allah baik tidak akan menerima
kecuali yang baik . Dan sesungguhnya Allah memerintah kaum
mukminin sebagaimana para Rasul , lalu berfirman : Hai
rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang
saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( Al mukminun
51 )
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا
لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya
kepada-Nya kamu menyembah. ( Al Baqarah 172 )[9]
Berdasarkan dalil-dalil diatas, maka Saya lebih condong untuk mengharamkan kepiting.
Seumpamapun derajatnya tidak sampai pada haram, maka masalah kepiting termasuk dalam wilayah Subhat (tidak jelas dan diperselisihkan halal haramnya) , maka layak sekali untuk di hindari. Sebagaimana firman Allah SWT :
الْحَلَالُ
بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ
كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ
الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا
وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ
Perkara
halal adalah jelas dan haram juga jelas . Dan diantara halal dan
haram itu terdapat perkara subhat yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya .
Barang siapa berhati – hati dari perkara subhat , sungguh telah membersihkan
diri untuk agama dan kehormatannya. Barang siapa yang jatuh ke
dalam subhat , akan jatuh juga kedalam keharaman laksana pengembala yang
mengembala di sekitar tanah larangan akan mengembala di dalamnya . Ingat !
Setiap raja mempunyai tanah larangan . Ingat ! Sesungguhnya tanah larangan
Allah adalah keharamanNya .[10]
Paling fatal lagi biasanya kepiting di masak
dengan tahinya , pada hal tahi itu kotor banget dan najis . Untuk apakah
kita makan kepiting bila masih ada ikan .
wallahu a'lam bish showab
-------------
[1] Mu`jamul buldan
381/2 .
[2] HR Muslim dalam kitab
sahihnya 1935
[6] Addiroyah fii takhriji
ahadisil hidayah 212/1
[9] HR Muslim / Zakat /
1015. Tirmidzi / Tafsir / 2989. Ahmad / Baqi musnad muktsirin/8149. Darimi /
Raqaq / 2718
[10] Hr Bukhori / Iman / 52.
Muslim / Musaqat / 1599. Tirmizi / Buyu`/ 1205. Nasai/ Asyribah /4453. –5710.
Abu dawud / Buyukl/ 3329. Ibnu Majah / Fitan / 3984. Ahmad / Musnad kufiyyin /
17883